A.
Latar
Belakang Masalah
Sebuah ungkapan populer dalam dunia
proses belajar mengajar mengatakan bahwa: “metode jauh lebih penting dari
materi”. Demikian urgennya metode dalam proses pendidikan dan pengajaran,
sebuah proses belajar mengajar bisa dikatakan tidak berhasil bila dalam
proses tersebut tidak menggunakan metode. Karena metode menempati posisi kedua
terpenting setelah tujuan dari sederetan komponen-komponen pembelajaran:
tujuan, metode, materi, media dan evaluasi.
Metode pembelajaran atau sering
digunakan istilah strategi belajar mengajar senantiasa mengalami dinamika dalam
praktik dunia pendidikan. Para pendidik selalu diingatkan bahwa metode itu
lebih signifikan peranannya dari pada materi. Tentu ini bukan berarti bahwa
tujuan, materi, media dan evaluasi sebagai unsur sistemik dalam pembelajaran
dianggap tidak penting. Sebaliknya seharusnya dimaknai sebagai bentuk tekanan,
stressing bahwa pendidik tidak akan
mampu mengantarkan peserta didik kepada tujuan pembelajaran secara optimal
tanpa memiliki metode yang kaya sekaligus keterampilan menerapkannya dalam
belajar mengajar. Sesuai dengan yang dikemukakan Moh Uzer Usman dalam bukunya
Menjadi Guru Profesional yaitu : “Guru yang kompeten akan lebih mampu
menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola
kelasnya sehingga hasil belajar peserta didik berada pada tingkat optimal.”[1]
Teramat banyak untuk menyebutkan metode
yang digunakan dalam suatu pembelajaran. Tugas pendidik adalah memilih
diantaranya ragam metode yang tepat untuk menciptakan suatu iklim pembelajaran
yang kondusif dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Sesuai yang dikemukakan oleh Syaiful Bahri Jamarah bahwa : “Antara metode dan
tujuan jangan bertolak belakang. Artinya, metode harus menunjang pencapaian
tujuan tujuan pengajaran.[2]
Bila tidak, maka akan sia-sialah perumusan tujuan tersebut. Apalah artinya
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan tanpa mengindahkan tujuan.
Seiring dengan itu, seorang
pendidik dituntut agar cermat memiliki dan menetapkan metode apa yang tepat
digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran kepada perserta didik. Karena
dalam proses belajar mengajar dikenal ada beberapa macam metode, antara lain:
metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, keteladanan, dan lain
sebagainya.[3]
Metode yang akan penulis bahas adalah
metode keteladanan. Metode ini merupakan metode yang paling unggul dan paling
jitu dibandingkan metode-metode lainya. Melalui metode ini para orang tua dan
pendidik memberi contoh atau teladan terhadap peserta didiknya bagaimana cara
berbicara, berbuat, bersikap, mengerjakan sesuatu atau cara beribadah, dan
sebagainya.
Melalui metode ini, peserta didik dapat
melihat, menyaksikan dan menyakini cara yang sebenarnya sehingga mereka dapat
melaksanakannya dengan lebih baik dan lebih mudah.
Dalam pendidikan agama
Islam, apabila kita menghendaki orang lain juga
mengerjakanya, maka mulailah dari diri kita sendiri untuk mengerjakanya. “Pendidik dituntut menjadi teladan bagi
peserta didiknya”.[4]
Sungguh tercela seorang pendidik yang
mengajarkan suatu kebaikan kepada peserta didiknya sedangkan ia sendiri tidak
menerapkannya dalam kehidupanya sehari-hari. Dalam hal ini Allah mengingatkan
dalam firman-Nya Surat Al-Baqarah
ayat 44:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ )البقرة:
٤٤(
“Mengapa kamu suruh orang
lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
(QS. Al-Baqoroh : 44) [5]
Firman Allah di atas menjelaskan bahwa
seorang pendidik hendaknya tidak hanya mampu memerintah atau memberikan teori
kepada peserta didiknya, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjadi panutan
bagi peserta didiknya, sehingga mereka dapat mengikutinya tanpa merasakan
adanya unsur paksaan.
Tujuan pendidik adalah memberikan
teladan yang baik bagi peserta didiknya. Pendidik adalah cermin bagi peserta
didik. Semua yang dilakukan pendidik akan ditiru oleh peserta didik. Pendidik
harus berhati-hati dalam bersikap karena peserta didik akan selalu menilai
semua sikap dan perilaku pendidik. Pendidik yang sopan, otomatis peserta didik
akan memiliki sikap sopan pula. Lain halnya dengan pendidik yang pendusta,
tidak akan mampu berbicara tentang kejujuran pada peserta didiknya. Begitu pula
dengan pendidik yang pemarah, tidak akan mampu mempraktekkan sikap sabar pada
peserta didiknya.
Pendidik tidak cukup hanya memberikan
prinsip saja untuk menciptakan peserta didik yang soleh, karena yang lebih
penting bagi peserta didik adalah figur yang memberikan keteladanan dalam
menerapkan prinsip tersebut, sehingga sebanyak apapun prinsip yang diberikan
tanpa disertai contoh keteladanan, ia hanya akan menjadi kumpulan resep yang
tak bermakna.
Seorang peserta didik, bagaimana pun
besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya
fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok
pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari
nilai-nilai moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik,
yaitu mengajari peserta didik dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi
adalah sesuatu yang teramat sulit bagi peserta didik untuk melaksanakanya
ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya
tidak mengamalkannya.
Islam telah menjadikan pribadi Rasul
sebagai suri teladan bagi seluruh pendidik untuk dapat disalurkan pada peserta
didik karena Rasulullah memiliki pribadi yang sempurna. Tiada celah keburukan sedikitpun
dalam pribadi Nabi Muhammad saw, oleh karena itu Allah mengutus Nabi Muhammad
saw untuk menjadi teladan bagi umat manusia di seluruh dunia. Hal ini
dinyatakan dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
(
الاحزاب : 21)
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs.
Al-Ahzab : 21)[6]
“Ayat yang
mulia ini merupakan prinsip yang utama dalam meneladani Rasulullah saw baik
ucapaan, perkataan, maupun perilakunya”.[7] Bila Islam menjadikan suri teladan abadi dari Allah adalah kepribadian
Rasul-Nya, maka ia menjadikan kepribadian beliau itu sebagai teladan bagi
setiap generasi, terus menerus menjadi suri teladan dan pada setiap peristiwa.
Keteladanan dalam pendidikan merupakan
metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan
membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial peserta didik. Mengingat
pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan peserta didik, yang
tindak tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh
mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan
senantiasa tertanam dalam kepribadian peserta didik.
Proses belajar memang dapat terapai
secara maksimal dengan metode meniru (imitation), seperti seseorang yang
meniru orang lain dalam melakukan sesuatu atau meniru mengucapkan sebuah kata.
Dengan metode ini seorang peserta didik dapat belalajr bahasa, belajar sopan
santun, adat istiadat, moral dan sifat manusia pada para pendidik.
Oleh karena itu, masalah keteladanan
menjadi faktor penting dalam menentukan baik-buruknya peserta didik. Jika dalam
proses belajar mengajar peserta didik sudah diajari berbuat tidak baik,
misalnya membiarkannya menyontek pada saat Ujian Nasional agar memperoleh nilai
yang baik atau selalu melanggar tata tertib sekolah, maka nantinya peserta
didik akan tumbuh menjadi seseorang yang rusak moralnya dan tidak menghargai
serta tidak mematuhi peraturan yang ada.
Proses pemberian contoh yang dilakukan
oleh pendidik diharapkan dapat membentuk moral peserta didik menjadi lebih
baik. Figur yang diteladani oleh peserta didik sekarang ini semakin berkurang,
dikarenakan banyak sekali figur yang seharusnya dijadikan contoh tersandung
masalah tentang moral. Mulai dari pejabat hingga pendidik. Bisa dilihat di
beberapa media, ada salah satu pejabat yang terkena masalah tentang video
asusila, begitu juga dengan pendidik yang tertangkap basah melakukan kekerasan
terhadap peserta didiknya sendiri. Jika hal ini dilihat dan disaksikan oleh
peserta didik akan membekas dan tertanam dalam hati peserta didik.
Dengan melihat pentingnya pendidikan
aqidah akhlak diberikan kepada peserta didik, maka ada beberapa hal yang
mendorong penulis membahas “HUBUNGAN KETELADANAN GURU AQIDAH AKHLAK DALAM MENGAJAR DENGAN PERILAKU BAIK PESERTA DIDIK”.
KONSULTAS HUBUNGI :
Zam : 081575876477
[1] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. Ke-24, hlm. 9.
[2] Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi
Belajar Mengajar, Edisi Revisi (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), cet. 4, hlm.
75.
[4] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), Cet.
Ke-1, hlm. 97.
[5] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, (Semarang, Al-Waah, 2002), hlm. 377.
[7] Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan
dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, (Jakarta : Gema Insani,
2008), hlm. 841.