Kebiasaan umat Islam di Indonesia setiap tanggal 10 muharam
yaitu menyantuni anak yatim dan mengusap rambut kepala. Kebiasaan tersebut
diawali dengan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Nabi Muhammad SAW biasa berpuasa pada hari
'Asyura dan memerintahkan umatnya untuk melakukan hal serupa, sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya :
“Tatkala Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam
datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari‘Asyura. Beliau shalallaahu ‘alaihi wassalam bertanya, “Hari apa ini?”.
Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah
selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa alaihis salam berpuasa pada
hari ini. Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya lebih berhak
mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu
dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR. Al Bukhari)
Puasa di hari ‘Asyura ini sepertinya sudah
menjadi kebiasaan Nabi SAW dan telah dilakukan sejak awal kenabian. Hal ini
tersirat dari hadits berikut.
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ
عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ
أَفْطَرَ
Dan dari Aisyah radhiallahu anha, ia
mengisahkan : “Dahulu
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa
di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa)
ia boleh berbuka”. (HR. Al Bukhari No 1897)
Dengan demikian setelah diwajibkannya puasa
Ramadhan, maka puasa Muharram di hari ‘Asyura menjadi sunnah hukumnya.
Sebelumnya Rasulullaah SAW sangat menekankan (seperti mewajibkan) agar kaum
muslimin berpuasa di hari ke sepuluh bulan Muharram itu.
Dalam hadits lain Nabi SAW menekankan
keutamaan puasa 'Asyura ini, yang artinya : Puasa yang paling utama
setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram,… [HR
Muslim]
Keutamaan lain puasa ‘asyura (10 Muharram)
adalah bisa menghapus dosa-dosa setahun yang telah lewat, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW
ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, beliau bersabda: ”Puasa itu bisa
menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada tahun sebelumnya.”(HR Muslim 2/818-819)
Pelaksanaan puasa Muharram atau ‘Asyura
sebagaimana tersirat pada arti kata ‘asyura adalah pada 10 Muharram. Namun ada
satu hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW akan melaksanakan puasa ini dimulai
dari tanggal 9 Muharram untuk membedakan dengan puasa yang dilakukan
orang-orang Yahudi dan Nashrani yang pada saat itu merayakan hari
‘Asyura. Namun hal ini belum sempat dilakukan oleh Nabi SAW karena
sebelum Muharram tahun berikutnya Rasululloh SAW telah wafat. Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya :
“Jikalau masih ada umurku tahun depan, aku
akan berpuasa tanggal sembilan (Muharram)” [HR Muslim]
Di hadits lain dari Ibnu Abbas RA juga,
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Puasalah kalian pada tanggal sembilan dan
sepuluh, bedakanlah dari orang-orang Yahudi.” (HR. Muslim).
Sebagian ulama menganjurkan agar puasa
bulan Muharram ini berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi dan Nashrani maka
dilaksanakan 2 hari yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram. Dimana pada tanggal 10
Muharram merupakan kebiasaan puasa Nabi SAW sebelumnya dan tanggal 9 Muharram
sebagai sebagai pembeda sesuai dengan hadits di atas.
Lalu apa kaitannya tanggal 10 Muharram dengan Hari Raya Lebaran Anak Yatim ?
Lalu apa kaitannya tanggal 10 Muharram dengan Hari Raya Lebaran Anak Yatim ?
Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap
bahwa tanggal 10 Muharram sebagai Hari Raya atau Lebaran anak yatim,
padahal tidak ada dalil yang kuat mengenai hari raya atau lebaran yatim ini.
Kalaupun benar sebagai hari raya atau lebaran anak yatim maka anak yatim yang
mana, yang Islam apa yang bukan Islam, dan apa yang harus dilakukan pada hari
raya tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud RA, mengisyaratkan bahwa Hari Raya umat Islam hanya ada Idul Adha dan
Idul Fitri
عَنْ
أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ
الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ "
Dari Anas, ia berkata : Rosulallah SAW
datang ke Madinah dan mereka (orang-orang) menjadikan dua hari yang mana mereka
suka bermain bersenang-senang), lalu Rosul bertanya : apa maksud dua hari ini ?
mereka menjawab : kami biasa bermain / bersenang-senang pada dua hari ini di
zaman jahiliyah, maka Rosulallah SAW bersabda : sesungguhnya Allah telah
menggantikan buat kamu dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari itu
(dua hari raya dizaman jahiliyah) yaitu : hari raya Adha dan hari raya Fitri
(HR : Abu Daud : 1134)
Dari hadits diatas jelas bahwa hanya ada
Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, tidak ada Hari Raya atau Lebaran anak
yatim, artinya jika anak yatim itu beragama Islam, maka ajaklah
untuk berhari raya ‘Idul Fitri dan Idul Adha.
Lalu bagaimana dengan hadits dari Ibnu
Abbas RA bahwa Rasulullah pernah bersabda :
”Dan barangsiapa yang membelaikan tangannya
pada rambut (kepala) anak yatim di hari 'Asyura, maka Allah Ta’ala mengangkat
derajat orang tersebut untuk untuk satu helai rambut satu derajat. Dan
barangsiapa memberikan (makan dan minum) untuk berbuka bagi orang mukmin pada
malam 'Asyura, maka orang tersebut seperti memberikan makanan kepada seluruh
umat Muhammad SAW dalam keadaan kenyang semuanya.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh
Baihaqi : Abdullah ibn Abi Auf
berkata, kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW maka datang seorang anak
laki-laki, ia berkata, "saya yatim, saudari saya yatim, dan ibu saya
seorang janda. Bagilah kami makanan dari rezki yang Allah berikan kepadamu
seridhanya". Kemudian, Rasul mengambil 21 biji kurma dan berkata,
"tujuh biji untukmu, tujuh untuk saudarimu, dan tujuh untuk ibumu".
Mu'adz ibn jabal berdiri dan mengusap kepalanya dan berkata, "Allah yang
menakdirkanmu menjadi yatim dan menjadikanmu pengganti bapakmu (anak itu adalah
dari kaum muhajirin) maka Rasulullah SAW bersabda, "Aku melihat tindakanmu
ya mua'adz, Mu'adz berkata, 'tanda sayang'. Rasul berkata, 'tidak seorangpun
dari kamu yang mengurus anak yatim, kemudian baik cara mengurusnya. Kalau ia
mengusap kepalanya selain Allah SWT catat baginya setiap helai rambut keburukan
dan mengangkat setiap helai rambut satu derajat". (HR.Baihaqi)
Belaian rambut pada kedua hadits di atas
merupakan kata majaz atau kata kiasan yang merupakan kasih sayang. Kasih sayang
yang bukan hanya diwujudkan dengan belaian rambut belaka, tapi bagaimana
mengurus anak yatim dengan baik yang diikuti dengan pemberian santunan untuk
pendidikan, sandang, pangan dan lain sebagainya.
Pada hadits yang kedua disebutkan
"mengurus anak yatim, kemudian baik cara mengurusnya" mengisyaratkan
bahwa pemberian santunan bukan hanya pada tanggal 10 Muharram saja, tapi juga
pada bulan-bulan lainnya.
Hadist diatas juga memberi penekanan kepada
kita bahwa anak yatim merupakan prioritas juga dalam memilih penerima sedekah.
Tentunya anak yatim diatas adalah anak yatim yang miskin. Karena tidak semua
anak yatim itu miskin, banyak juga anak yatim yang kaya, khusus hal ini tugas
kita adalah menjaga agar harta anak yatim ini tidak disalah gunakan oleh orang
yang tidak berhak dan pada saatnya nanti sudah dewasa akan menjadi hak
sepenuhnya dari anak yatim ini.
Begitu pentingnya mengurus anak yatim
sampai begitu banyak kebaikan yang Allah
janjikan untuk orang yang
memperhatikan anak yatim. Sebagimana Firman Allah: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? Itulah orang yang menghardik (membiarkan) anak yatim".
Bahkan, Rasulullah memberikan gambaran
kedudukan kepada mereka yang menyantuni anak yatim, sebagaimana dua jari yang
berdekatan.
"Aku dan orang-orang yang
mengasuh/menyantuni anak yatim di Surga seperti ini", Kemudian beliau
memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit
merenggangkannya. " (HR. Bukhori).
Masih banyak dalil keutamaan menyantuni
anak yatim, namun hadits di atas, rasanya sudah cukup untuk memberikan gambaran
yang nyata, bagaimana utamanya menyantuni anak yatim.
Kembali kepada penisbahan bahwa tanggal 10
Muharram sebagai lebaran anak yatim. Mungkin ada yang beranggapan bukankah
baik bila dijadikan hari seperti lebaran anak yatim itu, supaya orang yang
selama ini acuh tak acuh menjadi terbuka matanya dengan anak yatim.
Kalau menggunakan perasaan maka segalanya
memang bisa dirasa baik atau buruknya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya
bahwa penetapan hari raya membutuhkan dalil yang kuat. Dengan menetapkan hari
raya atau lebaran anak yatim seakan-akan hanya hari itu saja momen
untuk menyantuni anak yatim. Padahal anak-anak yatim tidak hanya ada ketika
lebaran yatim saja, mereka juga ada di hari-hari lainnya dimana mereka juga
masih membutuhkan bantuan pada hari-hari lainnya tersebut.
Boleh saja memberi santunan pada 10
Muharram, tapi jangan beranggapan bahwa jika menyantuni anak yatim diluar hari
lebarannya maka fahalanya akan berkurang. Sehingga keinginan memberikan santuan
selain tanggal 10 Muharram juga berkurang. Padahal kenyataannya tidak demikian,
karena fahala yang diperoleh ketika menyantuni anak yatim baik ketika hari yang
dikatakan lebarannya maupun pada hari-hari lainnya adalah sama. Karena tidak
ada dalil yang menyatakan bahwa menyantuni anak yatim pada 10 Muharram lebih
besar fahalanya daripada hari lainnya.
Kesimpulannya jangan membuat statemen bahwa tanggal 10 Muharram adalah Hari Raya atau Lebaran Anak Yatim karena tidak ada dalil yang menguatkan.
Mari kita santuni anak yatim kapan saja baik itu tanggal 10 Muharram atau tanggal-tanggal lainnya karena yang mereka butuhkan bukan hanya pada hari itu saja.
Demikianlah sedikit informasi mengenai Puasa 10 Muharram dan Hari Raya Lebaran Anak Yatim semoga kita diberikan kemampuan untuk ikut menyantuni anak yatim dan melaksanakan puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Aamiin.
0 comments:
Post a Comment